PPH 22
Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh:
- Bendahara
Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan
lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas
penyerahan barang;
- Badan-badan
tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di
bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
- Wajib
Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
- Bank
Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), atas impor barang;
- Direktorat
Jenderal Perbendaharaan (DJPb), Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah yang
melakukan pembayaran, atas pembelian barang;
- BUMN/BUMD
yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja
negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut
pada angka 4;
- Bank
Indonesia (BI), Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Badan Urusan Logistik
(BULOG), PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT. Perusahaan Listrik
Negara (PLN), PT. Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel,
Pertamina dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya
bersumber baik dari APBN maupun dari non APBN;
- Badan
usaha yang bergerak dalam bidang industri semen, industri rokok, industri
kertas, industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala
Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;
- Produsen
atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan
bakar minyak, gas, dan pelumas.
- Industri
dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan,
pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, atas
pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari
pedagang pengumpul.
- Wajib
Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Tarif PPh Pasal 22
- Atas
impor :
- yang
menggunakan Angka Pengenal Importir (API), 2,5% (dua setengah persen)
dari nilai impor;
- yang
tidak menggunakan API, 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor;
- yang
tidak dikuasai, 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.
- Atas
pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah, BUMN/BUMD
(Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2,3, dan 4) sebesar
1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN dan
tidak final.
- Atas
penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 5)
ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, yaitu:
- Kertas
= 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
- Semen
= 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
- Baja =
0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
- Otomotif
= 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
- Atas
penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau
importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
Catatan:
Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain
penyalur/agen bersifat tidak final
- Atas
pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang
pengumpul (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 7)
ditetapkan sebesar 2,5 % dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
- Atas
impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan
API sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a sebesar 0,5% (setengah
persen) dari nilai impor.
- Atas
Penjualan
- Pesawat
udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp20.000.000.000,00
- Kapal
pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp10.000.000.000,00
- Rumah
beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari
Rp10.000.000.000,00 dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
- Apartemen,
kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih
dari Rp10.000.000.000,00 dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
- Kendaraan
bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan,
jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus
dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar
5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM.
- Untuk
yang tidak ber-NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 22
Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22
- Impor
barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan Surat Keterangan
Bebas (SKB).
- Impor
barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai;
dilaksanakan oleh DJBC.
- Impor
sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor
kembali, dan dilaksanakan oleh Dirjen BC.
- Pembayaran
atas pembelian barang oleh pemerintah atau yang lainnya yang jumlahnya
paling banyak Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan tidak merupakan
pembayaran yang terpecah-pecah.
- Pembayaran
untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM,
benda-benda pos.
- Emas batangan
yang akan di proses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk
tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.
- Pembayaran/pencairan
dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.
- Impor
kembali (re-impor) dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah
diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian yang memenuhi
syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
- Pembayaran
untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Bulog.
Saat Terutang dan Pelunasan/Pemungutan PPh Pasal 22
- Atas
impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea
Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh
Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen
Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
- Atas
pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2,3, dan
4 ) terutang dan dipungut pada saat pembayaran;
- Atas
penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 5)
terutang dan dipungut pada saat penjualan;
- Atas
penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 6)
dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery
Order);
- Atas
pembelian bahan-bahan (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 7)
terutang dan dipungut pada saat pembelian.
Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22
- PPh
Pasal 22 atas impor barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir
1) disetor oleh importir dengan menggunakan formulir Surat Setoran
Pajak, Cukai dan Pabean (SSPCP). PPh Pasal 22 atas impor barang yang
dipungut oleh DJBC harus disetor ke bank devisa, atau bank persepsi, atau
bendahara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dalam jangka waktu 1 (satu)
hari setelah pemungutan pajak dan dilaporkan ke KPP secara mingguan paling
lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
- PPh
Pasal 22 atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea
Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22 atas
impor harus dilunasi saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor.
Dilaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
- PPh
Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 2) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak rekanan
ke bank persepsi atau Kantor Pos pada hari yang sama dengan pelaksanaan
pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut menerbitkan bukti pungutan
rangkap tiga, yaitu :
- lembar
pertama untuk pembeli;
- lembar
kedua sebagai lampiran laporan bulanan ke Kantor Pelayanan Pajak;
- lembar
ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan, dan dilaporkan ke
KPP paling lambat 14 (empat belas ) hari setelah masa pajak berakhir.
- PPh
Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 3) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual
ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lama tanggal 10 sepuluh) bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Dilaporkan ke KPP paling lambat
tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
- PPh
Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 4 ) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual
ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan
takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP dan menyampaikan SPT
Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
- PPh
Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh
Pasal 22 butir 5, dan 7 ) dan hasil penjualan barang sangat mewah
(Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 8) disetor oleh
pemungut atas nama wajib pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos paling
lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan
formulir SSP. Pemungut menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua
puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
- PPh
Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh
Pasal 22 butir 6) disetor oleh pemungut ke bank persepsi atau Kantor
Pos paling lama tanggal 10(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Pemungut wajib menerbitkan bukti pemungutan PPh Ps. 22 rangkap 3 yaitu:
- lembar
pertama untuk pembeli;
- lembar
kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak;
- lembar
ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.
Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa
ke KPP setempat paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 22
bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional,
penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
PPH 23
Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas
penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan,
selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Pemotong dan Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 23
- Pemotong
PPh Pasal 23:
- badan
pemerintah;
- Subjek
Pajak badan dalam negeri;
- penyelenggaraan
kegiatan;
- bentuk
usaha tetap (BUT);
- perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya;
- Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Direktur
Jenderal Pajak.
- Penerima
penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:
- WP
dalam negeri;
- BUT
Tarif dan Objek PPh Pasal 23
- 15%
dari jumlah bruto atas:
- dividen
kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan final, bunga,
dan royalti;
- hadiah
dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
- 2% dari
jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.
- 2% dari
jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi dan
jasa konsultan.
- 2% dari
jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya, yaitu:
- Jasa
penilai;
- Jasa
Aktuaris;
- Jasa
akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
- Jasa
perancang;
- Jasa
pengeboran di bidang migas kecuali yang dilakukan oleh BUT;
- Jasa
penunjang di bidang penambangan migas;
- Jasa
penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas;
- Jasa
penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
- Jasa
penebangan hutan
- Jasa
pengolahan limbah
- Jasa
penyedia tenaga kerja
- Jasa
perantara dan/atau keagenan;
- Jasa
di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang
dilakukan KSEI dan KPEI;
- Jasa
kustodian/penyimpanan-/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
- Jasa
pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
- Jasa
mixing film;
- Jasa
sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan
perbaikan;
- Jasa
instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC,
dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang
lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi
sebagai pengusaha konstruksi
- Jasa
perawatan / pemeliharaan / pemeliharaan mesin, peralatan, listrik,
telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh
Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin
dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi
- Jasa
maklon
- Jasa
penyelidikan dan keamanan;
- Jasa
penyelenggara kegiatan atau event organizer;
- Jasa
pengepakan;
- Jasa
penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau
media lain untuk penyampaian informasi;
- Jasa
pembasmian hama;
- Jasa
kebersihan atau cleaning service;
- Jasa
katering atau tata boga.
- Untuk
yang tidak ber-NPWP dipotong 100% ebih tinggi dari tarif PPh Pasal 23
- Yang
dimaksud dengan jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang
dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap, tidak termasuk:
- Pembayaran
gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang diabayarkan oleh WP penyedia tenaga kerja kepada
tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan
pengguna jasa;
- Pembayaran
atas pengadaan/pembelian barang atau material (dibuktikan dengan faktur
pembelian);
- Pembayaran
kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan
kepada pihak ketiga(dibuktikan dengan faktur tagihan pihak ketiga
disertai dengan perjanjian tertulis);
- Pembayaran
penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian pembayaran sebesar
jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak
ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan atau bukti pembayaran yang telah
dibayarkan kepada pihak ketiga).
Jumlah bruto tersebut tidak berlaku:
- Atas
penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering;
- Dalam
hal penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa, telah dikenakan
pajak yang bersifat final;
Penghitungan PPh Pasal 23 terutang menggunakan jumlah bruto tidak termasuk
PPN
Dikecualikan dari Pemotongan PPh Pasal 23:
- Penghasilan
yang dibayar atau terutang kepada bank;
- Sewa
yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak
opsi;
- Dividen
atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
WP dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD, dari penyertaan modal pada badan
usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
- dividen
berasal dari cadangan laba yang ditahan;
- bagi
perseroan terbatas, BUMN/BUMD, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% ( dua puluh lima persen) dari jumlah
modal yang disetor;
- Bagian
laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma
dan kongsi termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
- SHU
koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
- Penghasilan
yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang
berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan.
Saat Terutang, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 23
- PPh
Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran, disediakan
untuk dibayar, atau telah jatuh tempo pembayarannya, tergantung peristiwa
yang terjadi terlebih dahulu.
- PPh
Pasal 23 disetor oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal sepuluh bulan
takwim berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.
- SPT
Masa disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat 20 hari
setelah Masa Pajak berakhir.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 23
bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional,
penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Bukti Pemotong PPh Pasal 23
Pemotong Pajak harus memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada Wajib
Pajak Orang Pribadi atau badan yang telah dipotong PPh Pasal 23.
PPN
Istilah
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bukan suatu hal yang asing bagi masyarakat
Indonesia. Namun belum banyak yang mengenal filosofi di balik pengenaan PPN.
Ditinjau dari ilmu perpajakan PPN termasuk dalam kategori: (1) pajak objektif,
(2) pajak atas konsumsi umum dalam negeri, dan (3) pajak tidak langsung.
Pajak
Pertambahan Nilai
(PPN) adalah pajak yang
dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam
peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax
(VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak
langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang
bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir)
tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
Mekanisme
pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen
sehingga muncul istilah Pengusaha
Kena Pajak yang
disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal
istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang
dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang
dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya.
Indonesia
menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum
utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No.
8 Tahun 1983 berikut perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 1994,
Undang-Undang No. 18 Tahun 2000, dan Undang_Undang No. 42 Tahun 2009.
Menurut
pakar PPN, Untung Sukardji, pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat
timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yang disebut taatbestand. Istilah tersebut mengacu kepada keadaan,
peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut
dengan objek pajak. PPN sebagai pajak objektif dapat diartikan sebagai
kewajiban membayar pajak oleh konsumen yang terdiri atas orang pribadi atau
badan, dan tidak berkorelasi dengan tingkat penghasilan tertentu. Siapapun yang
mengonsumsi barang atau jasa yang termasuk objek PPN, akan diperlakukan sama
dan wajib membayar PPN atas konsumsi barang atau jasa tersebut.
Subjek pajak dalam pengertian pajak objektif
adalah konsumen yaitu selaku pihak yang memikul beban pajak. Dalam pajak
objektif kondisi subjektif konsumen tidak dipertimbangkan untuk menentukan
suatu peristiwa hukum terutang atau diwajibkan membayar pajak. Siapapun
konsumennya sepanjang peristiwa hukum tersebut merupakan objek pajak maka
terhadap konsumen tersebut diwajibkan membayar pajak yang sama.
Hal
ini berbeda dengan pajak subjektif, seperti Pajak Penghasilan (PPh), yang kondisi subjektif
pihak yang memikul beban pajak menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan
pajak terutang. Contohnya, tarif PPh bagi Orang Pribadi (OP) berbeda dengan PPh
bagi Badan. Demikian pula Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) OP yang menikah
dan memiliki tanggungan anak berbeda dengan OP yang belum menikah.
PPN
Sebagai Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri
Di
samping sebagai pajak objektif, PPN di Indonesia termasuk dalam kategori pajak
atas konsumsi. Ditinjau dari hukum perpajakan, pajak atas konsumsi adalah pajak
yang timbul akibat suatu peristiwa hukum yang menjadi beban konsumen baik
secara yuridis maupun ekonomis. Maksudnya, yang dikenai pajak adalah
barang-barang atau jasa yang dikonsumsi, bukan barang-barang dalam proses
produksi, dan ditujukan pada konsumen akhir. Selama barang-barang itu masih
dalam siklus produksi atau distribusi, pengenaan PPN pada area itu bersifat
sementara yang dapat dibebankan kepada pembeli berikutnya, melalui mekanisme
pengkreditan pajak masukan. Dalam penjelasan atas Undang-undang PPN, ditegaskan
bahwa PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di dalam daerah pabean
yang dikenakan secara bertingkat pada setiap jalur produksi dan distribusi.
PPN
Sebagai Pajak Tidak Langsung
Selanjutnya,
selain sebagai pajak objektif dan pajak atas konsumsi, PPN juga termasuk Pajak
Tidak Langsung. Sebagai Pajak Tidak Langsung, beban pembayaran pajaknya dipikul
oleh konsumen, namun penanggung jawab atas penyetoran PPN ke Kas Negara
dibebankan kepada penjual. Dengan kata lain dalam mekanisme pemungutan PPN,
pemikul beban pembayaran PPN dan penanggungjawab penyetoran PPN ke Kas Negara
adalah pihak yang berbeda. Faktur Pajak yang diterbitkan oleh penjual,
digunakan sebagai bukti pungutan atas PPN terutang, ketika menjual Barang Kena
Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) kepada pembeli atau penerima BKP atau
JKP. Selanjutnya penjual wajib menyetorkan setiap PPN yang dipungut dalam
setiap Masa Pajak ke Kas Negara. Sedangkan kewajiban pembeli adalah membayar
PPN terutang yang tercantum dalam faktur pajak kepada penjual. Faktur pajak itu
bagi pembeli adalah bukti pembayaran pajak. Hal ini beda dengan mekanisme
penarikan Pajak Langsung seperti PPh, dimana orang pribadi atau badan sebagai
pemikul beban pembayaran pajak juga dibebani tanggung jawab atas penyetorannya
ke Kas Negara.
Saat
ini, PPN memiliki peranan yang strategis dan signifikan dalam porsi penerimaan
negara dari sektor perpajakan. Penerimaan PPN pada tahun 2010 adalah sebesar
Rp.230,605 triliun, naik menjadi Rp.298,441 triliun pada tahun 2011, dan
ditargetkan menjadi Rp.350,343 triliun di tahun 2012 ini, atau 34% dari total
target penerimaan pajak tahun 2012 sebesar Rp.1.019,333 triliun. Pemerintah
terus berupaya mencegah kebocoran penerimaan pajak dari sektor PPN, diantaranya
dengan menerbitkan aturan Registrasi Ulang
Pengusaha Kena Pajak (PKP)
di tahun 2012 ini. Kebijakan ini diarahkan untuk mencegah penerbitan faktur
pajak yang tidak sesuai dengan transaksi yang sebenarnya oleh PKP yang tidak bertanggungjawab.
Hingga saat ini, Ditjen Pajak telah mencabut status pengukuhan PKP terhadap
202.132 perusahaan. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan masyarakat lebih
sadar, peduli serta mendukung target penerimaan pajak demi kelangsungan
pembangunan nasional dan penyelenggaraan negara. Bangga bayar Pajak!
KARAKTERISTIK PAJAK KELUARAN
Pajak keluaran ialah pajak yang dikenakan ketika subjek pajak melakukan
penjualan terhadap barang kena pajak (BKP) dan atau jasa kena pajak (JKP) yang
tergolong dalam barang mewah. Sebagai salah satu jenis pajak, Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) seringkali disebut sebagai pajak objektif. Pada PPN, hal yang
pertama kali ditekankan adalah objek pajak yang akan dikenakan. Kemudian,
subjek pajak yang terkena. Misalnya, barang-barang mewah, kendaraan mewah, dan
sebagainya. Yang pertama dikenakan adalah tarif pada tiap-tiap barang tersebut.
Kemudian, barulah wajib pajak pengonsumsi barang tersebut yang dikenai beban
pajaknya sehingga wajib pajak tersebut disebut sebagai subjek pajak.
Dalam pengenaan pajak terhadap subjek pajak tersebut, terdapat dua
kategori. Yaitu, pajak keluaran dan pajak masukan. Dalam hal ini, subjek
pajak yang dimaksud adalah pengusaha kena pajak (PKP) yang melakukan transaksi
jual beli barang. Artinya, PKP mengambil atau memungut rupiah yang dihasilkan
dari penjualan barang kena pajak (BKP) miliknya yang dibeli konsumen. Kemudian,
nantinya dapat berfungsi menjadi kredit atau pengurang pajak. Menjadi kredit
atau pengurang pajak karena sebelumnya sang PKP telah dikenai tarif pajak yang
sama atas pembelian barang tersebut yang d kemudian hari dijual olehnya. Jadi,
PPN dalam hal ini hanya terjadi pelimpahan beban.
Adapun batas waktu untuk melakukan pengkreditan pajak keluaran tersebut
adalah tiga bulan setelah masa pajak berakhir sehingga PKP memiliki waktu yang
cukup leluasa untuk melakukan pengkreditan pajaknya.
KARAKTERISTIK PAJAK MASUKAN
Pajak masukan adalah pajak yang dikenakan ketika Pengusaha Kena Pajak
melakukan pembelian terhadap barang kena pajak atau jasa kena pajak. Pengusaha
Kena Pajak, sering disebut PKP adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak
berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) 1984 dan
perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Tata cara umum Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pengusaha kena pajak
mengurangkan atau mengkreditkan pajak masukan dalam suatu masa dengan pajak
keluaran dalam masa pajak yang sama. Apabila dalam masa pajak tersebut lebih
besar pajak keluaran, kelebihan pajak keluaran harus disetorkan ke kas negara.
Sebaliknya, apabila dalam masa pajak tersebut pajak masukan lebih besar dari
pajak keluaran, kelebihan pajak masukan dapat dikompensasikan ke masa pajak
berikutnya atau dimintakan restitusi. Dalam tata cara umum tersebut, jumlah
yang harus dibayarkan oleh pengusaha kena pajak berubah-ubah sesuai dengan
pajak masukan yang dibayarkan dan pajak keluaran yang dipungut dalam suatu masa
pajak.
Mekanisme Pengkreditan Pajak Masukan
Prinsip dasar pengkreditan Pajak masukan adalah sebagai berikut:
- Pajak
Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk
Masa Pajak yang sama. (Pasal 9 ayat 2 UU PPN).
- Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak
berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang
bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan
pemeriksaan. (Pasal 9 ayat 9 UU PPN).
- Bagi
Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan
penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau
impor barang modal dapat dikreditkan. (Pasal 9 ayat 2a UU PPN).
- Barang
modal adalah harta berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan termasuk
pengeluaran yang dikapitalisasikan ke barang modal tersebut. (PP 1/2012).
- Pajak
Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat
(9). (Pasal 9 ayat 2a UU PPN).
- Pajak
Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan / atau JKP harus dikreditkan
dengan Pajak Keluaran di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. Contoh :
alamat di FP sama dg alamat di SK pengukuhan. Dalam hal impor BKP, DJP
karena jabatan atau berdasarkan permohonan tertulis dari PKP dapat
menentukan tempat lain selain tempat dilakukannya impor BKP sebagai tempat
pengkreditan Pajak Masukan. (PM dikreditkan di tempat PKP dikukuhkan,
Dikukuhkan di beberapa tempat maka dapat memilih). (PP 1/2012).
- Apabila
dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan,
selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh
Pengusaha Kena Pajak. Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh
Pengusaha Kena Pajak harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya
setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai disampaikan. Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah
berakhirnya Masa Pajak. (Pasal 9 ayat 3 UU PPN).
- Apabila
dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar
daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang
dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya (Pasal 9 ayat 4 UU PPN).
- Atas
kelebihan Pajak Masukan tsb dapat diajukan permohonan pengembalian pada
akhir tahun buku. Termasuk dalam pengertian akhir tahun buku dalam
ketentuan ini adalah Masa Pajak saat Wajib Pajak melakukan pengakhiran
usaha (bubar). (Pasal 9 ayat 4a UU PPN).
Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sesuai pasal 9 ayat 8 UU PPN
adalah atas pengeluaran sebagai berikut :
- Perolehan
BKP/JKP sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP. Ketentuan ini memberikan
kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan. Contoh :
Pengusaha A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak pada tanggal 19 April 2010. Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak
diberikan pada tanggal 20 April 2010 dan berlaku surut sejak tanggal 19
April 2010. Pajak Masukan yang diperoleh sebelum tanggal 19 April 2010
tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan ini.
- Perolehan
BKP/JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha. Yang
dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan
usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi,
pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha,
oleh karena itu, meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya
hubungan langsung dengan kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan
tersebut tidak dapat dikreditkan, yaitu apabila pengeluaran dimaksud tidak
ada kaitannya dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.
- Perolehan
dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon,
kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.
- Pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak. Ketentuan ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang
diperoleh sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
tidak dapat dikreditkan. Contoh : Pengusaha A melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 19 April 2010.
Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada tanggal 20 April
2010 dan berlaku surut sejak tanggal 19 April 2010. Pajak Masukan atas
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean yang diperoleh sebelum tanggal 19 April 2010 tidak
dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan ini.
- Perolehan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau
tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak.
- pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6).
- Perolehan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih
dengan penerbitan ketetapan pajak. Dalam hal tertentu dapat terjadi
Pengusaha Kena Pajak baru membayar Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
atas perolehan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
setelah diterbitkan ketetapan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar
atas ketetapan pajak tersebut tidak merupakan Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan.
- Perolehan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang
ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan. Namun apabila pada saat
pemeriksaan diketahui adanya perolehan BKP/JKP yang telah dibukukan atau
dicatat dalam pembukuan PKP, namun Faktur Pajaknya belum atau terlambat
diterima sehingga belum dilaporkan dalam SPT Masa PPN untuk Masa ybs.,
maka PM dalam Faktur Pajak tersebut dapat dikreditkan pada Masa Pajak
berikutnya paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya Masa Pajak
ybs. Contoh : Pemeriksaan SPT Masa Januari 2010 dilakukan tanggal 24 Maret
2010, dan ditemukan FP tanggal 12 Januari 2010 yang baru diterima pada
tanggal 22 Maret 2010, dan belum dilaporkan dalam SPT Masa PPN Januari
atau Februari 2010, namun perolehannya sudah dicatat dalam pembukuan, maka
Faktur Pajak tertanggal 12 Januari 2010 tersebut tetap dapat dikreditkan
dalam Masa PPN Masa Maret atau April 2010.
- Perolehan
Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum
Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
- Pajak Masukan
yang berkenaan dengan penyerahan yang tidak terutang PPN atau mendapat
fasilitas PPN dibebaskan sebagaimana dimaksud dalam Ps 9 ayat (5) dan Ps
16B ayat (3). Yang dimaksud dengan “penyerahan yang tidak terutang
pajak” adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan
dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16B. Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan
yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak hanya dapat
mengkreditkan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang
pajak. Bagian penyerahan yang terutang pajak tersebut harus dapat
diketahui dengan pasti dari pembukuan Pengusaha Kena Pajak.
Pengertian Faktur Pajak ( Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2000 ) :
- Bukti pungutan pajak (PPN/PPn
BM) yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan
BKP/JKP ; atau
- Bukti pungutan pajak (PPN/PPn
BM) karena impor BKP yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai.
Faktur Pajak
tidak harus dibuat secara khusus atau berbeda dengan Faktur Penjualan, artinya
Faktur Penjualan dapat sekaligus berfungsi sebagai Faktur Pajak.
KETENTUAN
MENGENAI FAKTUR PAJAK SESUAI UU NO 42 TAHUN 2009 (UU PPN BARU) (Mulai Berlaku 1 April 2010)
- A. Saat Pembuatan Faktur
Pajak (Pasal 13 (1a))
Pengusaha Kena
Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:
- penyerahan Barang Kena Pajak
- penyerahan Jasa Kena Pajak
- ekspor Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud
- ekspor Jasa Kena Pajak
Faktur Pajak
harus dibuat pada: *)
a)
saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
b)
saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c)
saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap
pekerjaan;
d)
saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Dikecualikan dari
ketentuan diatas*), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu)
Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang
Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan
kalender. Faktur Pajak tersebut harus dibuat paling lama pada
akhir bulan penyerahan.
- B. Syarat Faktur Pajak
Dalam Faktur
Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
a)
nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak;
b)
nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak;
c)
jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d)
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e)
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f)
kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g)
nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
- C. Sanksi atas Pelanggaran
Syarat Formal Faktur Pajak (Pasal 13 (5) Pasal 14 (1)KUP)
PKP tidak
dikenai sanksi apabila menerbitkan Faktur Pajak yang tidak memuat:
1. Identitas
pembeli; atau
2. Identitas
pembeli, serta nama dan tanda tangan untuk FP yang diterbitkan oleh pedagang
eceran.